Catatan Perjalanan :
Keliling
Setengah Amerika
33.
Di Madison, Saya Belajar Tentang Arti Kebersihan
Hari Rabu, 12
Juli 2000, sekitar jam 10:30 pagi, kami baru meninggalkan hotel
yang lokasinya tidak jauh dari bandara OHare International
Airport di sisi barat kota Chicago. Rencana semula saya akan
langsung masuk ke jalan I-90, kemudian memutar menuju ke arah
barat ke kota Rockford lalu ke utara ke kota Madison di negara
bagian Wisconsin. Kami memang tidak mempunyai rencana untuk
menjelajahi lebih jauh kota Chicago hari itu.
Menjelang
masuk ke jalan bebas hambatan I-90, saya sudah dihadapkan dengan
kemacetan luar biasa. Menyadari saya akan kesulitan untuk mencari
putaran jalan, akhirnya saya ikuti saja arus kendaraan yang
merayap perlahan ke arah timur. Selanjutnya saya akan masuk ke
jalan I-94 yang menuju ke arah utara. Saat itu saya berada di
lajur paling kanan dari lima lajur jalan yang ada di I-90.
Padahal dari kejauhan saya sudah melihat bahwa exit yang
menuju ke I-94 berada di lajur paling kiri.
Maka setahap
demi setahap dalam kepadatan arus lalu lintas yang bergerak
sangat lambat, saya berusaha berpindah lajur semakin ke kiri,
hingga akhirnya berhasil masuk ke I-94. Di jalan ini saya baru
merasa agak lega untuk melaju ke utara menuju kota Milwaukee.
Sengaja saya tidak melaju pada kecepatan maksimum agar dapat
lebih menikmati suasana pagi kota Chicago.
Tidak sampai
satu jam kemudian, kami masuk ke wilayah negara bagian Wisconsin
yang mempunyai nama julukan sebagai Badger State
dengan ibukotanya di kota Madison. Di daerah perbatasan negara
bagian ini saya berhenti untuk mengisi BBM. Ketika dilihatnya ada
toko cenderamata, anak-anak dan ibunya langsung berhamburan
keluar. Cenderamata yang paling dicari oleh anak-anak adalah
pensil yang desainnya bertuliskan nama-nama negara bagian, kartu
pos yang bergambar obyek-obyek wisata setempat dan hiasan
bermagnit yang suka ditempelkan di kulkas.
Setelah
memasuki wilayah negara bagian Wisconsin, mulailah saya melaju
dengan kecepatan sekitar 75 mil/jam (120 km/jam) di jalan bebas
hambatan I-94. Tidak lama kemudian saya tiba di kota Milwaukee
yang adalah kota terbesar di Wisconsin. Wisconsin adalah negara
bagian ke-26 yang kami kunjungi di hari keduabelas ini. Dari
Milwaukee saya masih mengikuti I-94 yang menuju ke arah barat
hingga akhirnya tiba di kota Madison sekitar jam 2:00 siang.
Sebagai
ibukota Wisconsin, Madison adalah kota kedua terbesar yang
berpopulasi sekitar 191,000 jiwa dan terletak pada elevasi 258 m
di atas permukaan laut. Kota ini unik karena dikelilingi oleh
empat buah danau yang disebut dengan Four Lakes of Madison, yaitu
danau Mendota, Monona, Wingra dan Waubesa. Madison juga terkenal
karena memiliki sebuah universitas tua, yaitu University of
Wisconsin yang berdiri tahun 1848.
Di
Madison saya berhenti di sebuah supermarket karena anak
laki-laki saya mulai ribut, persediaan susunya habis. Sementara
anak-anak dan ibunya masuk supermarket, saya memanfaatkan
waktu untuk tetap tinggal di tempat parkir sambil santai
menikmati sebatang rokok. Sesekali berdiri di luar mobil,
berjalan, menggeliat, lalu kembali duduk di mobil sambil
membolak-balik peta perjalanan dan menghitung-hitung lagi jarak
tempuh.
Hari
itu sebenarnya saya merencanakan untuk mencapai kota Columbia di
negara bagian Missouri. Di sana saya sudah ditunggu rekan saya,
Mas Janggam Adityawarma dan keluarga, yang adalah adiknya Mas
Mimbar Seputra. Namun kelihatannya waktunya tidak terkejar. Dari
hitung-hitungan sekilas, saya perkirakan hari itu hanya akan bisa
menempuh jarak sekitar 550 mil (880 km) karena tadi meninggalkan
kota Chicago agak terlambat, ditambah dengan adanya kemacetan.
Karena
itu saya mulai melihat-lihat peta, di kota mana kira-kira kami
akan menginap kalau kemalaman di jalan nanti dan hotel apa saja
yang ada, dimana alamatnya serta berapa perkiraan tarifnya. Buku
panduan wisata keluaran Biro Bantuan Perjalanan AAA memang sangat
membantu dalam menyediakan informasi yang saya perlukan.
Rencana
alternatif ini perlu saya persiapkan, mengingat setengah dari
perjalanan hari ini akan melintasi kota-kota kecil melalui
jalan-jalan State Road dua lajur dua arah yang umumnya memberikan
batas kecepatan maksimum tidak lebih dari 55-65 mil/jam. Di
kota-kota kecil yang dihubungkan oleh rute-rute jalan State Road
ini biasanya memang bukan jalur utama sehingga pilihan sarana
akomodasi yang ada juga tidak sebanyak kalau melalui jalan
Interstate.
***
Saya
melihat-lihat peta sambil duduk leyeh-leyeh (santai) di
belakang kemudi dengan pintu sebelah kiri agak dibuka karena
mobilnya memang stir kiri, sandaran tempat duduk agak direbahkan,
jari-jari tangan kiri menjepit sebatang Marlboro light
bungkus putih dan sesekali menghisapnya dalam-dalam. Sementara di
luar cuaca siang cukup panas.
Lama-lama
sebatang rokok pun habis, dan
.. lesss
.,
puntung rokok saya lepaskan dari sela-sela jari dan jatuh di
pelataran parkir di samping kiri mobil. Lalu batang rokok yang
kedua siap dinyalakan.
Di
luar perhatian saya, rupanya di sebelah kiri saya ada seorang ibu
bersama kedua putrinya sedang memasukkan barang-barang belanjaan
ke dalam mobilnya. Dan sialnya, ibu itu ternyata
memperhatikan saat puntung rokok saya tadi lepas dari jari-jari
tangan. Sepintas saya lihat ibu tadi mengatakan sesuatu. Karena
suaranya kalah oleh bunyi musik dari radio di mobil yang sedang
saya stel, saya pun tersenyum kepadanya sambil ber-Hi!
sebagai bahasa basa basi.
Rupanya
memang bukan basa-basi. Untuk kedua kalinya saya lihat si ibu
mengatakan sesuatu. Buru-buru saya matikan radio agar lebih jelas
mendengar apa yang dikatakannya. Barulah saya ngeh (sadar
apa yang terjadi), rupanya ibu itu menegur saya agar tidak
membuang sampah sembarangan. Malu sekali rasanya.
Saya
pun menyampaikan penyesalan dan mengucapkan terima kasih. Si ibu
saya lihat sudah siap menutup pintu mobil setelah menyuruh masuk
kedua putrinya. Sampai di sini saya anggap adegan drama
satu babak sudah selesai. Saya pun kembali menghidupkan
musik dari radio.
Eh,
ternyata anggapan saya keliru. Si ibu itu masih berdiri di
samping mobilnya dan kembali mengatakan sesuatu sambil tangannya
menunjuk ke bawah. Cepat-cepat saya matikan lagi radio di mobil
lalu badan agak saya tegakkan. Barulah saya menjadi lebih ngeh
lagi, ketika saya dengar ucapan si ibu itu yang menyarankan agar
sebaiknya saya membuang sampah di tempat yang telah disediakan,
sambil tangannya menunjuk ke arah puntung rokok yang saya buang
tadi.
Wooo
.,
tobil anak kadal!. Dengan agak blingsatan (salah
tingkah karena perbuatan salahnya diketahui orang) terpaksa saya
membungkukkan badan, tangan kiri menjulur ke bawah, memungut
kembali puntung rokok yang tadi saya jatuhkan dan memeganginya ke
atas. Sebentar kemudian si ibu lalu menjalankan mobilnya dan
pergi. Kali ini benar-benar komplit rasa malu saya yang
semalu-malunya. Padahal tidak ada orang lain melihat adegan itu,
tidak juga kedua putri si ibu.
Saya
sampai kami-tenggengen (diam terbengong atas apa yang baru
terjadi) selama beberapa saat, hingga si ibu pergi meninggalkan
tempat parkir. Seperti tidak percaya saya, kok bisa-bisanya ada
seorang ibu yang memaksa saya mengambil kembali
puntung rokok yang sudah saya buang di halaman parkir yang
luasnya melebihi lapangan sepak bola.
Saking
malu dan kesalnya saya sampai spontan mengumpat : Ba-jin-dul
..!
(seorang teman di Tembagapura memilih kata ini sebagai kromo
hinggil untuk kata bajingan, sebab kalau bajigur
terlalu manis). Entah saya mengumpat kepada siapa, wong di
situ ya hanya ada saya seorang diri. Sementara anak-anak dan
ibunya masih ada di dalam supermarket.
Setelah
terlanjur mengumpat saya baru eling, lha seharusnya kan
saya mengucap Subhanallah (Maha Suci Allah).
Justru oleh seorang ibu yang tidak saya kenal dan tidak saya
ketahui apa agamanya, saya diajari dan diberi contoh bagaimana
caranya mengamalkan ajaran agama yang saya anut tentang
kebersihan adalah bagian dari iman.
Ketika
si ibu sudah pergi, sebenarnya bisa saja kalau puntung rokok itu
saya lepaskan dan jatuh kembali ke pelataran parkir. Namun ada
semacam perasaan tidak tega di hati saya untuk merusak
pekerjaan besar yang baru saja saya lakukan atas
petunjuk seorang ibu yang tidak saya kenal di Madison, bahkan
mungkin saya tidak akan pernah menemuinya lagi. Puntung rokok itu
akhirnya saya masukkan ke dalam asbak yang ada di mobil.
Niat
untuk menyalakan batang rokok yang kedua serta-merta saya
batalkan. Sambil tersenyum kecut dalam hati saya mencoba
merenungkan kembali pekerjaan besar yang baru saja
saya lakukan. Apakah kejadian itu tadi adalah cermin dari
masyarakat Madison yang sangat perduli dengan kebersihan
lingkungan kotanya? Kalau iya, alangkah
indahnya kota ini. Atau, kebetulan saja saya sedang sial ketemu
dengan seorang ibu yang sok bersih lingkungan?
***
Suatu
siang di kota Madison, seorang ibu telah mengajari saya untuk
memahami artinya kebersihan. Bahwa kebersihan itu ternyata bukan
hanya menyangkut diri kita sendiri atau lingkungan sekitar kita,
melainkan juga kebersihan lingkungan orang lain dan termasuk di
dalamnya mengingatkan orang lain tentang kebersihan.
Apa
sih artinya sebatang puntung rokok kecil di tengah pelataran
parkir supermarket yang luasnya lebih dari lapangan sepak
bola?. Mbok biar pegawai supermarket saja yang
membersihkannya, kalau tidak keburu puntungnya terbawa angin atau
air hujan.
Tapi
ternyata ibu itu memilih untuk menegur saya dengan cara yang
sopan tanpa terkesan melecehkan, agar saya tidak menjadi bagian
dari sumber datangnya kotoran-kotoran kecil yang kalau jumlahnya
ratusan dapat menimbulkan kotoran yang besar. Sebuah pelajaran
berharga yang kiranya dapat diambil hikmahnya oleh siapa saja,
dan malah seharusnya patut diteladani.
Ah, tapi apa
bisa? Apa mungkin, teladan dari seorang ibu di Madison itu saya
terapkan di Pasar Beringharjo, Yogya, misalnya? Apa tidak malah
saya yang dienjepi (diberi senyum manis) oleh bakul salak
pondoh yang tidak pernah lepas dari tembakau susurnya. Lha,
kejadiannya mungkin malah jadi terbalik. Saya yang menegur malah
bisa jadi saya yang malu karena dienjepi bakul salak,
bakul pecel, kusir andong, tukang becak, kuli pasar, tukang
parkir, tukang loak, pedagang kain, copet dan banyak lagi
orang-orang lainnya di pasar.- (Bersambung)
Yusuf Iskandar